PENDIDIKAN

Pendidikan sebagai investasi SDM
DUNIA dan AKHIRAT

Rabu, September 29, 2010

Tantangan Zaman (Ki Hajar Dewantara)

Tolong lihat aku............
dan jawablah pertanyaanku
mau dibawa ke mana .............. pendidikan kita?
........ maka rakyat kita ada dalam kebingungan. Seringkali kita tertipu oleh keadaan yang kita pandang perlu dan laras untuk hidup kita, padahal itu adalah keperluan bangsa asing yang sulit didapatnya dengan alat penghidupan kita sendiri.
Menjadi pertanyaan besar di dunia pendidikan Indonesia:
* Kasus suap Jaksa Urip,
* penggelapan pajak oleh Gayus Tambunan,
* dugaan pembunuhan oleh Antasari Azhar,
* Susno Duaji dan juga Edmon Ilyas yang diduga menerima uang pajak gelap dan memiliki rekening liar misalnya,
Jika dirunutkan dan dikaitkan, menunjukkan bahwa ada yang salah dalam dunia dan kurikulum pendidikan kita. Secara moral (kesalehan pribadi), mereka adalah orang yang baik (minimal untuk keluarganya).
Edmon Ilyas, misalkan, adalah orang yang baik di mata masyarakat lingkungannya. Ia selalu ramah jika berhadapan dengan masyarakat dan selalu bertegur sapa dengan tetangga. Bahkan, ia juga membangun rumah ibadah.
Begitu pula Gayus Tambunan. Menurut ayahnya seperti ditayangkan salah satu stasiun TV beberapa waktu lalu, dulu Gayus Tambunan anak yang baik, rajin, dan pandai di sekolahnya. Gayus juga selalu bersikap santun pada orang tuanya.
Demikian pula halnya dengan Antasari Azhar, Susno, dan Edmon. Mereka adalah orang yang sangat baik dan dicintai keluarganya.
Lalu, apanya yang salah dengan mereka?
Pandidikankah?
Justru, mereka orang yang berprestasi dan bertitel!
Kalau mau jujur, (mungkin) ada yang keliru bahkan salah dalam sistem pendidikan kita.
"Ke mana hilangnya istilah pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan dan pendidikan sebagai alat pembebasan?
Di dalam zaman kebingungan ini seharusnyalah keadaban kita sendiri(cultuurhistorie) kita pakai sebagai petunjuk jalan untuk mencari penghidupan baru yang selaras dengan kodrat kita dan akan memberi kedamaian dalam hidup kita. Dengan keadaban bangsa kita sendiri kita lalu pantas berhubungan dengan keadaban bangsa asing; ...................
Saudaraku yang saya kasihi, sebelum saya memulai catatan ini, mari kita samakan pengertian 'Pendidikan' dengan pengertian 'Pendidikan' menurut Ki Hajar Dewantara.
Menurut Beliau, pendidikan adalah sebuah upaya kebudayaan, bukan dipisahkan, ini sama saja (diindikasikan) adanya usaha melepaskan nilai budaya dari proses pendidikan. Nilai budaya menjadi hilang dari pendidikan, padahal sesungguhnya nilai tersebut inheren (melekat), saling berkelanjutan dan, serta tidak dapat dilepaskan/dipisahkan satu sama lainnya! Atau ada suatu upaya merontokkan ideologi bangsa oleh kekuatan “asing” dengan menghilangkan kebudayaan dari pendidikan. Walupun mungkin para pembuat kebijakan tidak bermaksud demikian.
Pendidikan sebagai usaha kebudayaan bertujuan memerdekakan kodrat sang anak melalui proses among (asah, asih, asuh) yang dapat menumbuh kembangkan jiwa dan raga anak menjadi dirinya (memerdekakan sang anak) yang dapat beradaptasi dan bertahan hidup pada dunianya.
............Demikian kita acapkali merusak sendiri kedamaian hidup kita. Lagi pula kita sering juga mementingkan pengajaran yang hanya menuju terlepasnya pikiran (intelektualisme), padahal pengajaran itu membawa kita kepada gelombang penghidupan yang tidak merdeka (economishch afhankelijk) dan memisahkan orang-orang terpelajar dengan rakyatnya (menjadi cara berpikir individualis, materialistis, dan hedonis).
Saudaraku yang saya kasihi,
Yang perlu kita jadikan pegangan bersama adalah ‘semua yang terjadi di dunia ini tidak ada yang mustahil, yang ada karena keterbatasan pikiran dan penglihatan. Hal tersebut terkadang membuat kita tidak dapat melihat yang sudah, sedang, dan akan terjadi, tidak begitu jelas bahkan seolah diluar nalar kita. Yang terpenting untuk kita hindari, dengan menyadari hal tersebut kita tidak saling menyalahkan dan kita dihindari juga menuduh orang lain berbuat yang tidak atau kurang baik.
Saudaraku yang terkasih,
Marilah kita bersama mengakui kekurangan dan keterbatasan kita bersama, dari pada hal tersebut kita lempar kepada orang lain, bahkan para pemimpin kita. Untuk para pemimpin kita mari kita do’akan bersama agar mereka diberikan limpahan kesehatan, sehingga mereka juga dapat melihat dan mengerti arti kekurangan dan keterbatasan tersebut.
Ada yang terlupakan dari sebuah kata ‘pendidikan’ oleh kita, bahwa pendidikan bukanlah pengajaran (seperti kursus atau pada pendidikan nonformal pada umumnya, yang semestinya juga tidak demikian). Bahwa pendidikan adalah upaya kebudayaan (Ki Hajar Dewantara), dimana dalam upaya tersebut dilaksanakan dalam bentuk menumbuh-kembangkan jiwa dan raga anak melalui kemerdekaan lahir batin sesuai kodratnya, agar anak memiliki bekal untuk mengarungi kehidupannya sesuai jamannya nanti, dengan jiwa dan raga yang merdeka.
Sebagai usaha kebudayaan, kita terkadang kurang bahkan lupa memperhatikan pada pertumbuh-perkembangan jiwa sang anak, apalagi yang sesuai kodratnya. Begitu pula pada saat proses pembekalan materi, cenderung kita melupakan bahwa pendidikan bukan pengajaran, pendidikan adalah usaha kebudayaan yang dilakukan melalui menumbuh-kembangkan jiwa dan raga sesuai kodratnya. Karena kita mengejar materi/kurikulum, sehingga kita lupa bahwa proses belajar-mengajar harus menyenangkan anak, atau sesuai dengan kodratnya. Sewajarnya untuk materipun harus dipilih/disesuaikan dengan kodrat sang anak, sehingga anak benar-benar dapat memiliki jiwa merdeka, atau kesenangan pada apa yang sedang dan akan dikerjakannya.
Kita sebagai pembimbing/pengasuh, selalu mengamati/menganalisa kemajuan belajar anak melalui analisa soal. Data analisa tersebut yang nantinya akan dikembangkan menjadi kebijakan dalam pemberian materi berikutnya yang disesuai dengan kodrat sang anak.
Kita juga harus selalu mengembangkan cara pendekatan kepada sang anak, dengan bimbingan yang lebih intensif, sehingga kita mengetahui kodrat anak tersebut.
Dan yang tidak kalah pentingnya, kita sering terbawa kepada pengertian umum bahwa pendidikan sama dengan sekolah. Sehingga kita terbawa pada penilaian mereka, bahwa letak atau tolak ukur keberhasilan pendidikan ada di sekolah atau guru/pengasuh/pembimbing. Padahal suah jelas pendidikan oleh Ki Hajar Dewantara terdiri dari 3 sektor yang tidak terpisahkan, dan sekolah pada umumnya tidak lebih hanya memiliki 5 sampai 8 jam atau atau maksimal 1/3 bagian dari keseluruhan kehidupan sang anak, sisanya pendidikan ada di keluarga dan masyarakat. Maka kurang tepat rasanya apabila hasil pendidikan dibebankan hanya pada sekolah, ajaklah mereka (keluarga dan masyarakat) untuk ikut bersama menumbuh-kembangkan jiwa raga sang anak dalam upaya menyukseskan pendidikan
Saudara-saudaraku yang akan dilipat gandakan rahmatnya oleh Tuhan Yang Maha Esa, karena telah pandai mensyukuri nikmat Nya dengan menjaga perbuat yang kurang baik (menyalahkan, menuduh bahkan memfitnah) orang lain termasuk para pemimpinnya sendiri. Karena sesungguhnya, perbuatan itu (menyalahkan, menuduh bahkan memfitnah), dapat dianggap sama dengan memperlakukan terhadap yang menciptakan (Tuhan Yang Maha Esa).
Melalui kajian hati nurani diatas, marilah kita sama memahami kekurangan dan keterbatasan kita sebagai wujud syukur kita, dan dengan ikhlas pula mari kita doa kan bersama para pemimpin kita (Presiden, DPR, Mendiknas, dan Dinas Pendidikan) sebagai pemegang kebijakan agar selalu dibukakan pintu hati nuraninya atas keterbatasan dan kekurangan yang sama dimiliki setiap manusia, sehingga apa yang diputuskan/kebijakan dapat lah menjadi rahmat untuk kita semua,

Salam.

dibantu dengan :Bung Ghopur (kompasiana,141042)
TRAKTIR : Peringatan! Ultah ke-43 saya buat bangsa ini, semoga bermanfaat.

Amin.