PENDIDIKAN

Pendidikan sebagai investasi SDM
DUNIA dan AKHIRAT

Rabu, November 27, 2013

Memaknai Pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang Pendidikan



Memaknai Pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang Pendidikan
Ki Gunawan
BANGSA kita adalah bangsa pemimpi, kata Totok Amin Soefijanto (Kompas, 26/5), dan telah tidur sejak 1913 sambil memimpikan pendidikan sebagai obat mujarab untuk semua penyakit yang ada di masyarakat. Setidak-tidaknya Totok Amin Soefijanto benar saat menyebut kelalaian (atau malah kemahiran kita?) dalam memilih obat yang salah dalam memecahkan masalah bangsa.
Namun, saat mengurai persoalan bangsa dengan fokus pemikiran Ki Hadjar Dewantara (KHD), sekurangnya ada tiga hal yang memerlukan koreksi.
Pertama, kesimpulannya terhadap KHD pada 1913 Als ik eens Nederlander was (bukan Is Ik Nederlander was) yang dimuat dalam brosur yang diterbitkan Comite tot herdenking van Nederlandsch Honderdjarige Vrijheid atau "Komite Bumiputera" dan buku Onze Verbanning (bukan media Belanda De Express-mungkin maksudnya De Expres, media berbahasa Belanda yang amat kritis terhadap Pemerintah Kolonial Belanda, yang diasuh di antaranya oleh kaum nasionalis seperti dr EFE Douwes Dekker, seorang Indo Belanda yang sangat bersimpati kepada kaum nasionalis, dr Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Surjaningrat/KHD) sebagai tonggak dimulainya "masa tidur panjang" bangsa kita.
Kedua, merangkaikan begitu saja pemikiran KHD pada masa aktif dalam bidang politik melalui Boedi Oetomo dan terutama melalui kegiatan jurnalistik, pada 1908-1922 dengan pemikiran KHD setelah itu yang mulai beralih ke bidang pendidikan. Ketiga, kekeliruannya menafsirkan konsepsi KHD tentang pendidikan karena hanya menyorot secara sepotong-sepotong, khususnya tentang "metode Among" dengan trilogi kepemimpinannya (Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tutwuri Handayani) sehingga justru mengaburkan gagasan awalnya sendiri tentang rekonstruksi pemikiran KHD.
TULISAN KHD dalam brosur walaupun berjudul Seandainya Aku Seorang Belanda (Als ik eens Nederlander was) bukanlah cermin dari angan-angan atau mimpi KHD. Tulisan itu justru merupakan sindiran halus yang nyelekit terhadap Pemerintah Kolonial Belanda yang tengah merancang perayaan satu abad kemerdekaan negerinya secara besar-besaran di negara yang dijajahnya dengan memungut biaya dari rakyat bangsa yang dijajahnya.
Coba simak penggalan dari tulisan itu yang diterjemahkan KHD sendiri: ... Andai aku seorang Nederlander, tidaklah aku akan merayakan kemerdekaan bangsaku di negeri yang rakyatnya tidak kita besar kemerdekaan.... Dengan tidak sadar seolah-olah kita berteriak-teriak: 'lihatlah hai orang-orang, bagaimana kita memperingati kemerdekaan kita; cintailah kemerdekaan, karena sungguh bahagialah rakyat yang merdeka, lepas dari penjajahan!'.... kemudian... Sungguh, seandainya aku seorang Nederlander, tidaklah aku akan merayakan peringatan kemerdekaan di negeri yang masih terjajah. Lebih dahulu berilah kemerdekaan kepada rakyat yang masih kita kuasai, barulah boleh orang memperingati kemerdekaannya sendiri. Penggalan itu sama sekali tidak menunjukkan KHD sedang berandai-andai sebagai seorang Belanda yang berniat memberikan kemerdekaan kepada tanah jajahannya. Yang tampak justru sebuah sindiran halus yang tajam dan nyelekit tentang ketidakpantasan sikap orang-orang Belanda yang berniat merayakan kemerdekaannya dengan melibatkan rakyat Hindia Belanda (baca: Indonesia) bahkan dengan memungut sumbangan dari rakyat.
Tentang tulisan itu, Prof Dr Sardjito, dalam pidato pemberian gelar doktor honoris causa kepada KHD menilai, karya itu merupakan wujud ketangkasan menulis dalam menyerang pihak Belanda. Menurut Prof Dr Sardjito, tamparan yang amat hebat itu dilakukan secara tidak kasar, tidak dengan memaki-maki, senantiasa tetap sebagai ksatria, memberi kata-kata yang tepat, jitu, indah susunannya, ada humornya, ada sinisnya, tercampur dengan ejekan yang pedas yang dilemparkan kepada si penjajah, tetapi selanjutnya juga memberikan pandangan-pandangan yang dapat direnungkan untuk pihak sana, dan juga untuk pihak kita.
Dari tulisan-tulisan KHD yang terhimpun di berbagai literatur, dengan mudah kita dapat menangkap gaya KHD dalam mengekspresikan pemikirannya yang sama sekali jauh dari sikap seorang pemimpi yang putus asa. Als ik eens Nederlander was yang menyebabkan KHD dibuang ke Belanda pada 1913 itu rasanya tidak tepat disebut sebagai awal bangsa kita tidur.
SISTEM Among dengan trilogi kepemimpinannya sebagai salah satu konsepsi pendidikan KHD bukanlah konsepsi yang muncul tiba-tiba dan dipasarkan melalui Boedi Oetomo (KHD menjadi anggota Boedi Oetomo hanya pada 1908) pada masa KHD aktif di dunia politik (1908-1922) karena KHD baru secara intens menggeluti pemikiran tentang pendidikan justru dalam masa pembuangannya di negeri Belanda (1913-1919). Di Belanda, selain tetap aktif dalam bidang politik, KHD menambah pengetahuannya dalam bidang pendidikan dan mendapat akta guru pada 1915.
Di Belanda pula KHD mulai berkenalan dengan gagasan- gagasan tokoh-tokoh pendidikan dunia seperti JJ Rousseau, Dr Frobel, dr Montessori, Rabindranath Tagore, John Dewey, dan Kerschensteiner. Tokoh yang pemikirannya tampak sangat mempengaruhi KHD adalah Frobel dengan pendidikan anak-anaknya yang menekankan pengembangan angan-angan anak-anak untuk mengajarkan anak-anak berpikir melalui permainan, kemudian Montessori yang mengutamakan pelatihan pancaindra untuk mengembangkan tabiat dan kekuatan jiwa anak dan Rabindranath Tagore yang mengutamakan pengembangan kepribadian anak. Gagasan-gagasannya tentang pendidikan mulai berkembang dan baru mulai 1922 dipraktikkan KHD di Tamansiswa.
Dengan tegas KHD menolak penerapan konsepsi regeering, tucht, en orde (paksaan, hukuman, dan ketertiban) dalam pendidikan yang menempatkan guru sebagai figur sentral dan siswa sebagai obyek. KHD mengenalkan konsepsi orde en vrede (tertib dan damai) sebagai dasar pendidikan dengan bertumpu kepada prinsip bertumbuh menurut kodrat. Menurut KHD, yang dipakai sebagai alat pendidikan adalah pemeliharaan dengan sebesar-besarnya perhatian untuk memperoleh tumbuhnya hidup anak lahir dan batin menurut kodratnya sendiri. Dan, inilah yang disebut sebagai metode Among dengan Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tutwuri Handayani yang diterapkan di Tamansiswa sejak 1922.
MENEMPELKAN anak sebagai figur sentral dalam pendidikan dengan memberikan kemerdekaan sepenuh-penuhnya untuk berkembang itulah ide dasar pengembangan konsepsi KHD. Guru hanya membimbing dari belakang dan baru mengingatkan anak kalau sekiranya mengarah kepada suatu tindakan yang membahayakan (tutwuri handayani) sambil terus membangkitkan semangat dan memberikan motivasi (ing madya mangun karsa) dan selalu menjadi contoh dalam perilaku dan ucapannya (ing ngarsa sung tuladha).
Persoalannya, sekarang ini sering kali guru menjadikan dirinya otoritas yang paling berkuasa dalam proses pendidikan sehingga alih-alih membangkitkan semangat malah justru memasung kreativitas. Sangat banyak guru, baik dalam arti sempit/sebenarnya maupun dalam arti luas, justru berperilaku yang tak pantas untuk diteladani.
Berbeda dengan pandangan Totok AS yang menyebut bahwa yang sekarang dipakai hanyalah Ing ngarsa sung tuladha, menurut hemat saya sekarang ini justru tidak satu pun dari konsepsi KHD yang diterapkan di lapangan. Kerja guru sekarang ini tampak semakin mekanis dan hampir tak berjiwa lagi karena diburu target kurikulum dan target kehidupan yang semakin tinggi tuntutannya. Pendidikan pun sudah secara pasti berganti baju menjadi sekadar pengajaran yang bersifat intelektualistik.
Bagaimanapun saya setuju bila terhadap konsepsi-konsepsi KHD perlu dilakukan kajian ilmiah agar dengan mudah dipelajari dan dipahami. Akan tetapi, betapa indahnya pun sebuah konsepsi, tanpa praktik yang benar dan sungguh-sungguh, hasilnya pasti akan mengecewakan. Dan, memang pada akhirnya kita hanya akan menjadi bangsa pemimpi dengan segudang persoalan yang tak pernah terselesaikan.
Ki Gunawan Panitera Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, Tinggal di Yogyakarta.

PEMIKIRAN KI HAJAR DEWANTARA TENTANG PENDIDIKAN


Oleh Br. Theo Riyanto, FIC

Pada jaman kemajuan teknologi sekarang ini, sebagian besar manusia dipengaruhi perilakunya oleh pesatnya perkembangan dan kecanggihan teknologi (teknologi informasi). Banyak orang terbuai dengan teknologi yang canggih, sehingga melupakan aspek-aspek lain dalam kehidupannya, seperti pentingnya membangun relasi dengan orang lain, perlunya melakukan aktivitas sosial di dalam masyarakat, pentingnya menghargai sesama lebih daripada apa yang berhasil dibuatnya, dan lain-lain.

Seringkali teknologi yang dibuat manusia untuk membantu manusia tidak lagi dikuasai oleh manusia tetapi sebaliknya manusia yang terkuasai oleh kemajuan teknologi. Manusia tidak lagi bebas menumbuh-kembangkan dirinya menjadi manusia seutuhnya dengan segala aspeknya. 
Keberadaan manusia pada zaman ini seringkali diukur dari “to have” (apa saja materi yang dimilikinya) dan “to do” (apa saja yang telah berhasil/tidak berhasil dilakukannya) daripada keberadaan pribadi yang bersangkutan (“to be” atau “being”nya). 
Dalam pendidikan perlu ditanamkan sejak dini bahwa keberadaan seorang pribadi, jauh lebih penting dan tentu tidak persis sama dengan apa yang menjadi miliknya dan apa yang telah dilakukannya. Sebab manusia tidak sekedar pemilik kekayaan dan juga menjalankan suatu fungsi tertentu. Pendidikan yang humanis menekankan pentingnya pelestarian eksistensi manusia, dalam arti membantu manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia yang utuh berkembang (menurut Ki Hajar Dewantara menyangkut daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif)). Singkatnya, “educate the head, the heart, and the hand !”

Di tengah-tengah maraknya globalisasi komunikasi dan teknologi, manusia makin bersikap individualis. Mereka “gandrung teknologi”, asyik dan terpesona dengan penemuan-penemuan/barang-barang baru dalam bidang iptek yang serba canggih, sehingga cenderung melupakan kesejahteraan dirinya sendiri sebagai pribadi manusia dan semakin melupakan aspek sosialitas dirinya. Oleh karena itu, pendidikan dan pembelajaran hendaknya diperbaiki sehingga memberi keseimbangan pada aspek individualitas ke aspek sosialitas atau kehidupan kebersamaan sebagai masyarakat manusia. Pendidikan dan pembelajaran hendaknya juga dikembalikan kepada aspek-aspek kemanusiaan yang perlu ditumbuhkembangkan pada diri peserta didik.

Ki Hajar Dewantara, pendidik asli Indonesia, melihat manusia lebih pada sisi kehidupan psikologiknya. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan sampai sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi.

Dari titik pandang sosio-anthropologis, kekhasan manusia yang membedakannya dengan makhluk lain adalah bahwa manusia itu berbudaya, sedangkan makhluk lainnya tidak berbudaya. Maka salah satu cara yang efektif untuk menjadikan manusia lebih manusiawi adalah dengan mengembangkan kebudayaannya. Persoalannya budaya dalam masyarakat itu berbeda-beda. Dalam masalah kebudayaan berlaku pepatah:”Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.” Manusia akan benar-benar menjadi manusia kalau ia hidup dalam budayanya sendiri. Manusia yang seutuhnya antara lain dimengerti sebagai manusia itu sendiri ditambah dengan budaya masyarakat yang melingkupinya.

Ki Hajar Dewantara sendiri dengan mengubah namanya ingin menunjukkan perubahan sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan negara. Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan sebagai pendidik pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau figure keteladanan, baru kemudian sebagai fasilitator atau pengajar. Oleh karena itu, nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi perantara antara Tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini). Sebagai pendidik yang merupakan perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya adalah berwatak pandita juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan.

Manusia merdeka adalah tujuan pendidikan Taman Siswa. Merdeka baik secara fisik, mental dan kerohanian. Namun kemerdekaan pribadi ini dibatasi oleh tertib damainya kehidupan bersama dan ini mendukung sikap-sikap seperti keselarasan, kekeluargaan, musyawarah, toleransi, kebersamaan, demokrasi, tanggungjawab dan disiplin. Sedangkan maksud pendirian Taman Siswa adalah membangun budayanya sendiri, jalan hidup sendiri dengan mengembangkan rasa merdeka dalam hati setiap orang melalui media pendidikan yang berlandaskan pada aspek-aspek nasional. Landasan filosofisnya adalah nasionalistik dan universalistik. Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual. Universal artinya berdasarkan pada hukum alam (natural law), segala sesuatu merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan, merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian tumbuh dalam diri (hati) manusia. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Maka hak setiap individu hendaknya dihormati; pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan independen secara fisik, mental dan spiritual; pendidikan hendaknya tidak hanya mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan dari orang kebanyakan; pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu tetapi perbedaan antara masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan; pendidikan hendaknya memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan hara diri; setiap orang harus hidup sederhana dan guru hendaknya rela mengorbankan kepentingan-kepentingan pribadinya demi kebahagiaan para peserta didiknya. Peserta didik yang dihasilkan adalah peserta didik yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan bertanggungjawab atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain. Metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh (care and dedication based on love). Yang dimaksud dengan manusia merdeka adalah seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan selaras dari segala aspek kemanusiaannya dan yang mampu menghargai dan menghormati kemanusiaan setiap orang. Oleh karena itu bagi Ki Hajar Dewantara pepatah ini sangat tepat yaitu “educate the head, the heart, and the hand”.

Guru yang efektif memiliki keunggulan dalam mengajar (fasilitator); dalam hubungan (relasi dan komunikasi) dengan peserta didik dan anggota komunitas sekolah; dan juga relasi dan komunikasinya dengan pihak lain (orang tua, komite sekolah, pihak terkait); segi administrasi sebagai guru; dan sikap profesionalitasnya. Sikap-sikap profesional itu meliputi antara lain: keinginan untuk memperbaiki diri dan keinginan untuk mengikuti perkembangan zaman. Maka penting pula membangun suatu etos kerja yang positif yaitu: menjunjung tinggi pekerjaan; menjaga harga diri dalam melaksanakan pekerjaan, dan keinginan untuk melayani masyarakat. Dalam kaitan dengan ini penting juga performance/penampilan seorang profesional: secara fisik, intelektual, relasi sosial, kepribadian, nilai-nilai dan kerohanian serta mampu menjadi motivator. Singkatnya perlu adanya peningkatan mutu kinerja yang profesional, produktif dan kolaboratif demi pemanusiaan secara utuh setiap peserta didik.

Akhirnya kita perlu menyadari bahwa tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia muda. Pendidikan hendaknya menghasilkan pribadi-pribadi yang lebih manusiawi, berguna dan berpengaruh di masyarakatnya, yang bertanggungjawab atas hidup sendiri dan orang lain, yang berwatak luhur dan berkeahlian. Semoga!

Theo Riyanto, FIC

TAMANSISWA

by Kurnia Fajar Arifianti
http://www.scribd.com/doc/72779264/1213


A.Pendahuluan
Taman Siswa adalah nama sekolah yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara pada tanggal 3 Juli tahun 1922 di Yogyakarta (Taman berarti tempat bermain atau tempat belajar, dan Siswa berarti murid).Pada waktu pertama kali didirikan, sekolah Taman Siswa ini diberi nama "National Onderwijs Institut Taman Siswa", yang merupakan realisasi gagasan beliau bersama-sama dengan teman di paguyuban Sloso Kliwon. Sekolah Taman Siswa ini sekarang berpusat di balai Ibu Pawiyatan (Majelis Luhur) di Jalan Taman Siswa, Yogyakarta, dan mempunyai 129 sekolah cabang di berbagai kota di seluruh Indonesia.
Prinsip dasar dalam sekolah/pendidikan Taman Siswa yang menjadi pedoman bagi seorang guru adalah:
Ing ngarsa sung tulada ("(yang) di depan memberi teladan/contoh")
©       Ing madya mangun karsa ("(yang)" di tengah membangun prakarsa/semangat")
©       Tut wuri handayani ("dari belakang mendukung").
Ketiga prinsip ini digabung menjadi satu rangkaian/ungkapan utuh: Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani, yang sampai sekarang masih tetap dipakai sebagai panduan dan pedoman dalam dunia pendidikan di Indonesia.

B.ISI
KODRAT ALAM  (Cirikhas 1 Tamansiswa) :
Sebagai perwujudan kekuasaan Tuhan YME mengandung arti bahwa hakekat umat manusia adalah menyatu dengan alam semesta dan tidak dapat lepas dari hukum kodrat alam. Manusia akan bahagia bila menyelaraskan diri dengan kodrat alam yang mengandung segala hukum kemajuan.
Hari berganti minggu, berganti bulan, berganti tahun selalu bertambah dan tidak pernah mundur ataupun berhenti, itulah kodrat alam kuasa Illahi. Budaya manusia selalu mengalami kemajuan dan interaksi antar bangsa tak terelakkan sesuai hukum kodrat alam. Demikianlah Ki Hadjar Dewantara (KHD) memberi pedoman olah budaya bangsa dengan TRIKON (Kontinyu, Konvergen, Konsentris)

©       KONTINYU : Mengolah budaya bangsa secara berkesi nambungan dari masa lalu, masa kini dan masa datang. Dari generasi ke generasi menjalin rangkaian kemajuan budaya bangsa terus menerus tiada terputus.
©       KONVERGEN : Tidak menutup diri dengan perkem bangan kebudayaan dunia. Dengan adaptif memilah dan memilih budaya universal yang bermanfaat bagi memperkaya perkembangan budaya bangsa sendiri.
©       KONSENTRIS : Dalam mengarungi dan menyatu dengan arus budaya universal, berpegang teguh kepada budaya sendiri memperkuat kepribadian nasional. Bangsa yang besar selalu mempunyai ciri karakter budaya bangsanya.

KONSENTRISITAS : (Unsur TRIKON)
KHD mempraktekkan konsentrisitas sebelum melansir konsep TRIKON yaitu menyerap ilmu  dari Barat dan melahirkan konsep yang membumi. Tahun 1913 sd 1919 KHD dibuang (externir) ke negeri Belanda memperdalam Ilmu Paedagogie dan memperoleh sertifikat pendidik Eropa. Walau KHD dididik secara Barat namun konsepnya tidak kebarat-baratan. Ajaran KHD  disesuaikan dengan budaya lokal misalnya sistem kekeluargaan, sistem among, tut wuri handayani dll. Beberapa orang salah paham dengan Kejawaan KHD (kejawen?), karena saat itu belum ada bahasa persatuan (Sumpah Pemuda 1928). Konsep KHD yang membumi misalnya wiyatagriya adalah “school woning type” (home schoolling). Tringo (Ngerti, Ngroso, Nglakoni) sekarang dikenal cognitif, afektif, psycho motoric. Kemerdekaan sejalan dengan konsep Frobel dalam pendidikan anak di Belanda. Konsentrisitas semacam ini telah lama dilakukan sebelumnya oleh para Wali Songo misalnya dalam tradisi Lebaran dengan sungkem dan mudik yang tidak terdapat di dunia Islam selain Indonesia. Hakekatnya KHD keturunan Nyi Ageng Serang buyut dari Sunan Kalijogo. Banyak yang belum tahu bahwa tahun 1928 orang yang pertama mengusulkan bahasa Persatuan dengan bahasa Indonesia (bukan bahasa Jawa) adalah KHD.
Azas Tamansiswa butir ke-3 berbunyi : Tentang zaman yang akan datang maka rakyat kita ada dalam kebingungan. Seringkali kita tertipu oleh keadaan yang kita pandang perlu dan laras untuk hidup kita, padahal itu adalah keperluan bangsa asing yang sukar didapatnya dengan penghidupan kita sendiri. Demikianlah kita acapkali merusak kedamaian hidup kita. Lagipula kita sering mementingkan pengajaran yang hanya menuju terlepasnya fikiran (intelektualisme), padahal pengajaran itu membawa kita kepada gelombang penghidupan yang tidak merdeka (economisch afhankeleijk) dan memisahkan orang terpelajar dengan rakyatnya. Di dalam kebingungan ini seharusnyalah keadaban kita sendiri (cultuurhistorie) kita pakai sebagai penunjuk jalan untuk mencari penghidupan baru yang selaras dengan kodrat kita dan akan memberi kedamaian dalam hidup kita. Dengan keadaan bangsa kita sendiri kita lalu pantas berhubungan dengan keadaban bangsa asing.
Demikianlah KHD tidak merekomendasikan pendidikan yang melulu intelektualisme (cognitif/Ngerti) melainkan adanya keseimbangan dengan afektif (Ngroso) serta psycho motoric (Nglakoni) antara lain dengan pendidikan nation and character building. Karena hakekatnya Tamansiswa adalah perguruan kebangsaan (National Onderwijs Instituut Tamansiswa). Pendidikan yang terlalu mementingkan intelektual (kognitif) menjauhkan pelajar dari rakyatnya, memperlebar jurang kaya miskin selanjutnya menambah kerawanan sosial.
Pendidikan karakter sejak Tamansiswa berdiri 3 Juli 1922 melekat kepada setiap mapel yang diajarkan setiap pamong (guru). Dengan berlakunya KTSP pendidikan karakter diajarkan dalam mapel Budi Pekerti dan mapel Ketamansiswaan. Mapel Budi Pekerti hakekatnya mengajarkan tentang “habluminannas dan hablumin Allah”. Mapel Ketamansiswaan menekankan pada ajaran KHD serta character and nation building. Acuan mapel tersebut berupa silabi dengan penekanan konsentrisitas budaya mengutamakan kepada kearifan lokal (local wisdom) menuju pembentukan kepribadian khas Indonesia. Agar bangsa kita dapat berdiri sejajar dengan keadaban bangsa lain di dunia, demikian KHD.
 KEMERDEKAAN (Cirikhas 2 Tamansiswa) :
Kemerdekaan mengandung arti sebagai karunia Tuhan YME kepada manusia dengan memberikan hak untuk mengatur dirinya sendiri (zelfbeschikkingsrecht) dengan mengingati syarat tertib damainya (orde en vrede) hidup bermasyarakat. Karena itu kemerdekaan diri harus diartikan sebagai swadisiplin atas dasar nilai luhur, hak hidup sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Kemerdekaan harus menjadi dasar untuk pengembangan pribadi yang kuat dan sadar dalam suasana keseimbangan dan keselarasan pribadi yang kuat dan sadar dalam kehidupan bermasyarakat.
                Tujuan pendidikan Perguruan Tamansiswa adalah membangun peserta didik menjadi manusia yang merdeka lahir-batin dan tenaganya, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berbudi pekerti luhur, berakhlak mulia, cerdas dan terampil hidup, sehat jasmani rohani, menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa, tanah air dan umat manusia pada umumnya. Guna mencapai tujuan pendidikan tersebut Tamansiswa menerapkan Among Metode (Sistem Among) berdasarkan kekeluargaan.

Ajaran Tamansiswa
Beberapa hal mengenai ajaran Tamansiswa, antara lain.
Pancadharma
Pancadharma merupakan pokok dari ajaran Tamansiswa. Pancadharma berisi 5(lima) hal pokok tentang kehidupan. Isi pancadharma yang pertama adalah Kodrat Alam. Hal ini merupakan hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Kedua, Kemerdekaan. Ini merupakan hal yang berhubungan dengan makhluk hidup. Dengan adanya hal ini, manusia mampu hidup dengan kakinya sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Ketiga, Kebudayaan. Hal ini disetarakan dengan kebudayaan orang di seluruh Nusantara pada umumnya dan masyarakat Jawa pada khususnya. Keempat, Kebangsaan. Perguruan Tamansiswa mencakup aspek kebangsaan antara lain, masyarakat Indonesia mempunyai 5 (lima) kepercayaan yang berbeda-beda. Dan denga asas kebangsaan ini, orang Tamansiswa mampu merangkul semua kepercayaan di Nusantara. Kelima, Kemanusiaan. Hal ini merupakan asas yang berkaitan dengan manusia. Dan dengan aspek ini, diharapkan manusia mempunyai rasa welas-asih terhadap manusia yang lain.
Asas 1922
Ada 7 (tujuh) asas pada Asas 1922 ini. Inti dari Asas ini adalah hendaknya kita hidup pada kaki kita sendiri, jangan mengharap belas kasihan orang lain, hidup dengan salam dan bahagia atau senantiasa mengucap salam pada orang lain (lahir) dan bahagia batinnya. Selain itu, kita hidup dengan kemauan sang anak. Sehingga, sang anak dapat mengatakan sendiri apa maunya.

Lawan Sastra Ngesti Mulya
Asas ini mempunyai arti yang mulia, yaitu dengan pendidikan atau pengetahuan kita akan mendapat kemuliaan. Jadi, kita harus menjunjung tinggi ajaran itu. Agar di masa yang akan datang, kita akan mencapai kemuliaan.
Tirilah Hidup Cicak
Cicak itu tidak mempunyai pendidikan, tetapi mereka dapat memperoleh makanan untuk dirinya dan anak-anaknya. Apalagi kita yang berpendidikan. Pesan dari asas tersebut adalah agar kita, orang Tamansiswa, mampu meniru hidup seekor cicak. Dengan pendidikan yang tinggi, kita seharusnya mampu memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak sebagai makhluk.
SISTEM AMONG : 
Among artinya mengemban, membina dengan keikhlasan hati tanpa pamrih. Pendidikan Perguruan Tamansiswa dilaksanakan menurut Sistem Among yaitu suatu system pendidikan yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan :
Kodrat Alam sebagai wujud pengakuan kuasa Illahi dan syarat untuk mencapai kemajuan yang secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya selaras dengan perubahan alam dan jaman. Menyadari  akan sifat kodrati dimana setiap anak selalu tenteram dalam alam keluarganya, maka Sistem Among memakai dasar kekeluargaan. Pamong bertindak sebagai pengganti orang tua di perguruan dengan segala asih, asah, asuhnya. Sebaiknya untuk PAUD dan TK mempergunakan bahasa ibu. Suasana kekeluargaan ini membuat siswa lebih gembira dan kondusif, daripada sekolah formal yang sarat ketegangan cadaver disiplin. Kekeluargaan membuat siswa masih berada dalam kodratnya yang direalisasikan dalam Wiyata Griya dimana siswa tinggal dalam rumah tangga asrama di perguruan. Hal ini dapat terlaksana pada awal berdirinya Tamansiswa, namun seiring dengan menyempitnya lahan, konsep ini tidak terlaksana penuh. Namun SMA Taruna Nusantara masih konsisten dengan system Tamansiswa Wiyata Griya di Magelang.
Kemerdekaan jiwa siswa lahir batin dan tenaganya adalah tujuan utama sistem among. Kemerdekaan lahir batin ini sangat diperlukan sang anak pada pra kemerdekaan guna menyongsong kemerdekaan bangsa. Setelah kemerdekaan jiwa merdeka ini masih diperlukan sepanjang jaman dari rakyat hingga pimpinan nasional, agar Indonesia tidak didikte Negara lain. Sistem among melarang adanya hukuman yang memaksakan kepada sang anak, karena akan membunuh jiwa merdekanya. Pelaksanaan PBM (Proses Belajar Mengajar) diaplikaikan dengan memakai “dolanan anak” (kinder spellen). Misalnya membuat peta dengan pasir, menghafal abjad dengan menyanyi, simulasi, seni budaya. Peri laku dolanan anak adalah kodrat semua anak makhluk Tuhan guna mengasah panca inderanya. Dolanan anak bisa menjadi embrio jiwa merdeka yang tidak boleh dipupus begitu saja oleh sekedar keperluan pelatihan disiplin.

TUT WURI HANDAYANI :
“Tut Wuri Handayani” memberi kebebasan inovasi kepada anak sesuai podrat talentanya. Dengan pembinaan dari belakang, tidak semata mendikte perilaku sang anak, membentuk percaya dirinya. Bila perlu memberikan koreksi dan dorongan (handayani) kepada setiap peri laku anak. “Ing Madyo Mangun Karso” mengajak sang anak proaktif mengikuti segala KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) dengan penuh penghayatan, kreatif, bersemangat. “Ing Ngarso Sung Tulodho” artinya bila sang anak telah cukup bekalnya harus dapat memimpin dan memberikan suri tauladan kepada yunior dan masyarakatnya.
Azas ke-4 Tamansiswa berbunyi Pengajaran yang hanya didapat oleh sebagian kecil dari rakyat kita tidak berfaedah untuk bangsa. Maka haruslah golongan rakyat yang besar mendapat pengajaran secukupnya. Kekuatan bangsa dan Negara itu jumlahnya kekuatan orang-orangnya. Maka lebih baik memajukan pengajaran untuk rakyat umum daripada meninggikan pengajaran, kalau usaha meninggikan ini seolah-olah mengurangi tersebarnya pengajaran.  Sehubungan itu Tamansiswa ada di Garda Depan saat mengajukan judicial review terhadap UUBHP kepada MK. Karena UUBHP dipandang bertentangan dengan UUD 1945 dalam ikut mencerdaskan kehidupan bangsa.
Azas ke-7 Tamansiswa berbunyi Dengan tidak terikat lahir batin, serta dengan suci hati, berniatlah kita berdekatan dengan Sang Anak. Kita (pamong) tidak meminta sesuatu hak, akan tetapi menyerahkan diri akan berhamba kepada Sang Anak. Tanpa keikhlasan berkorban demi sang anak, mustahil misi pendidikan karakter dapat tercapai sesuai tujuannya.

VISI DAN MISI TAMANSISWA
A. Visi
Visi persatuan Taman Siswa dan cabang-cabangnya adalah sebagian badan Perjuangan Kebudayaan dan Pembangunan masyarakat serta penyelenggaraan pendidikan dalam arti luas dalam bentuk perguruan.
B. Misi :
©       Melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional Indonesia .
©       Mewujudkan masyarakat tertib damai salam dan bahagia sesuai masyarakat merdeka, berdaulat, bersatu, adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
©       Mencerdaskan kehidupan bangsa dengan mempertajam daya cipta, rasa dan karsa manusia.
C. Usahanya :
©       Dalam rangka melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional Indonesia , cabang-cabang dapat bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan Propinsi dan Kabupaten / Kota membuka sanggar-sanggar budaya atau seminar-seminar tentang kebudayaan.
©       Dalam rangka mewujudkan masyarakat tertib damai, salam dan bahagia cabang-cabang dapat bekerja sama dengan Dinas Sosial Propinsi / Kabupaten / Kota dan lembaga social tingkat Propinsi / Kabupaten / Kota dalam rangka memerangi kemiskinan, keterbelakangan, dan penyakit-penyakit masyarakat.
©       Dalam rangka menyelenggarakan pendidikan dalam arti luas (pendidikan jalur formal, informal, dan non formal) dalam bentuk perguruan, Cabang-cabang dapat bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Propinsi Kabupaten / Kota dalam rangka mengentaskan kebodohan, memeratakan kualitas pendidikan.

Cabang-cabang dapat menyelenggarakan :
©       Pendidikan jalur formal dari T. Indria sampai dengan Perguruan Tinggi baik umum maupun kejuruan.
©       Pendidikan jalur informal berupa nasehat, petuah, dan keteladanan hidup tertib damai salam dan bahagia terhadap siswa, orang tua siswa, dan masyarakat umum.
© Pendidikan jalur nonformal berupa : sarasehan, seminar, ceramah-ceramah tentang pendidikan Anak Usia Dini (PAUD / Kelompok Belajar), menyelenggarakan Paket A,B,C Pemberantasan aksara kursus, kursus, dsb.

C.PENUTUP
Ki Hadjar Dewantara adalah Bapak Pendidikan Nasional yang mendirikan Perguruan Tamansiswa tanggal 3 Juli 1922. Beliau mencetuskan beberapa ajaran kepemimpinan, salah satunya Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tutwuri Handayani. Yang memiliki makna didepan memberi contoh atau teladan, ditengah memberi semangat dan dorongan, serta dibelakang mengawasi anak didik, tanpa mengurangi kebebasan anak didik.

DAFTAR PUSTAKA