12 Mei 2013 pukul 20:17
Sabtu, 27Januari 2007, NationalIntegration Movement (NIM) kembali
menggelar Diskusi Kebangsaan diPadepokanOne Earth, Ciawi. Diskusi kali
ini membahas tentang efektivitas sistempendidikan di Indonesiadalam
melahirkan manusia Indonesiayang berkarakter dan berbudaya. Hadir
sebagai Narasumber, Ki SoenarnoHd dariPerguruan Taman Siswa-Jakarta, dan
Marhento Wintolo dari GerakanPengajar,Dokter dan Psikolog Bagi Ibu
Pertiwi (GPDP). Ki Soenarno Hd adalahwakil dariTaman Siswa yang
membubuhkan tanda tangannya pada prasasti PerpustakaanDewantara-Tagore
(DEWATA) di komplek One Earth, Ciawi.
Firman Allahmengatakan bahwamanusia diciptakan laki-laki dan perempuan, bersuku-suku,berbangsa-bangsa untuk saling kenal mengenal. Salahsatubentuk dari perkenalan itu, menurut Ki Soenarno, adalah Pendidikan.Pendidikan
yang seperti apa? Pendidikan yang menurut KiHadjar Dewantara sebagai
upaya kebudayaan untuk membimbing tumbuhnyajiwa ragaagar melalui kodrat
pribadi dan pengaruh lingkungan mendapatkanperkembanganjiwa dalam
kehidupannya.
Upaya kebudayaanpendidikan ituberupa upaya
mempertajam akal (secara konqnitif), rasa(secara afektif) dan
karya/tindakan (secarapsikomotorik) untukmelestarikan dan mengembangkan
kebudayaan sebagai hasil budi dayamanusiaseperti Ilmu Pengetahuan,
Religiositas, Etika, Estetika dan KecakapanHidup.Tujuan dari pendidikan
itu sendiri adalah mamayunghayuning salira, bangsa, manungsa/bawana, atau mencita-citakankebahagiaandiri, bangsa, dan umat manusia sedunia.
Tapi
kenyataannya di Indonesia,lebih banyak lembaga pendidikan yang
diselenggarakan untukmerebut/melanggengkan kekuasaan, atau demi
materialisme bagikepentingan segelintirorang atau diri sendiri. Misalnya
: sekolah yang dirancang khusus untukmengasah kemampuan siswa dengan
fasilitas serba lengkap dan tenagapengajaryang serba pintar agar
nantinya seorang siswa lulusan sekolah itu mudahmendapat pekerjaan atau
menjadi kaya raya. Sekolah seperti inisebenarnyabukanlah lembaga
pendidikan, tapi sebuah usaha perdagangan“berbulu/berjubah”sekolah.
Sistem
Pendidikan diIndonesiasecara konseptual berdasarkan Pancasila, yang
dijabarkan oleh UUD’45Psl 31,ayat 1-5. Dijabarkan kembali lewat UU No.
20/2003 tentang Sisdiknas.Pendidikanformal distandarisasi dengan
Peraturan Pemerintah (PP) No. 19/2005, danstandarisi pendidikan formal
diatur dengan Peraturan Menteri (PerMen)No. 221. Tapi bila
kitamemperhatikan standar isi pendidikan itu, tidak ada
pelajaranReligiositasmaupun Etika.
Menurut standarkelulusan
seorangsiswa berdasarkan PP 19/2005 & PerMen 222, disebutkan bahwa
seorangsiswadinyatakan lulus bila (1) mengikuti semua program, (2) nilai
pendidikanagama danestetika minimal baik, (3) lulus Ujian Sekolah, dan
(4) lulus UjianNasionalyang hanya difokuskan pada mata pelajaran Bahasa
Indonesia, BahasaInggris, danMatematika. Sehingga, bila sekolah yang
cerdik (bedakan dengan cerdas)akanmemfokuskan pengajaran pada ke-3
pelajaran yang diuji ini untuk“mengejar” statistiktingkat kelulusan
sekolah. “Keberhasilan” sekolah ini dapat menjadi‘ikonmarketing’ yang
jitu bagi sekolah itu dalam menjaring siswa-siswa baru,di manatetap saja
tujuan akhir adalah profit, bukan mendidik.
Masalah jadibertambah
rumitketika secara tidak sadar, para orang tua secara tidak sadar
cenderunguntukmemilih sekolah yang hanya mengembangkan intelektual dan
matematiksematasehingga sekolah-sekolah seperti ini akan ramai biarpun
mahal karenadalambenak orang tua, bila pintar pasti mudah mencari
pekerjaan. Padahaltujuanpendidikan bukanlah seperti itu. Tapi celakanya,
para pembuat danpelakupendidikan tidak juga tahu bahwa pendidikan
dimaksudkan untuk mendidikseseorang menjadi berbudaya dan berkarakter,
bukan sekedar pintarsecaraintelektual saja. Dalam sistem pendidikan yang
penting adalah prosesajar-mengajar bukan hanya hasil akhir.
Tapi
yang palingparah adalahketika kita tidak menghargai apa yang sebenarnya
sudah ditanamkan dalamtradisibudaya kita. Kita pikir intelektual dapat
menghasilkan kreatifitas,atau kitapikir intelektual semata dapat
memberikan kita kebahagiaan. Apalagibila kitaberpikir kebahagiaan bisa
tercapai dengan berlimpahnya uang dan harta.Padahaltidak demikian.
Kreatifitassebenarnya
mudahdimunculkan bila seseorang berbudaya dan berkarakter. Tapi
menciptakanseseorang yang berbudaya dan berkarakter tidak dapat
dilakukan lewatsistempengajaran “salah dihukum-benar diberi hadiah.”
Sistem pengajaran “carrot and stick” seperti ini mungkinefektif
bila untuk mengajar binatang atau untuk menjadikan
seorangmanusiarobotis, tapi tidak akan efektif bila untuk mengajar
seorang manusiasupayaberbudaya dan berkarakter.
Konsep Pengajaran
KiHadjarDewantara berfokus pada (1) Kepribadian Merdeka. Hidup ini
bebasmerdekamengikuti hak asal tidak melupakan kewajiban. (2)
Kemasyarakatan ataukekeluargaan. (3) Kebangsaan yang memiliki rasa satu
dalam suka, duka,dandalam mencapai cita-cita dan tujuan bersama,
berfaham religius,humanistis, dankultural, serta berwawasan Bhinneka
Tunggal Ika. (4) Kebudayaan yangberkembangsecara kontinyu, konvergen,
dan konsentris (Trikon). Budaya menurut KiHadjarselalu berkembang secara
terus menerus. Kemudian berpadu dengan budayaasingyang sesuai dengan
kepribadian bangsa Indonesiasendiri, yaitu Pancasila. Proses
perpaduannya sendiri seperti air dangula,bukan terpisah seperti air dan
minyak. Dan Konsentris yang berartimendunia tanpaharus kehilangan ciri
khas masing-masing. (5) Perekonomian yangmerakyat yaitubertujuan
menyejahterakan dan membahagiakan diri tiap rakyat, seluruhbangsa
Indonesia,dan umat manusia sedunia (Mamayu hyuningsalira, bangsa, dan manungsa).
Di Perguruan Taman Siswa dijabarkandalamPancadarma (5 Bhakti), yakni :
Kodrat Alam, Kemerdekaan, Kebudayaan,Kebangsaan, dan Kemanusiaan.
Sebagaiseorang
dozen di salah satu Sekolah Tinggi, Bapak Marhento
Wintolo,menyesalkankondisi pendidikan di Indonesiayang menurut beberapa
survei berada di peringkat terbontot di Asia.Padahal Indonesiamengenal
konsep-konsep Pendidikan sejak dahulu kala. Selain Ki HajarDewantaradi
tahun 1922, K.H Ahmad Dahlan pada tahun 1910 juga sudah
mengemukakansistempendidikan diadopsi oleh Muhammadiyah. Teuku Moh.
Syafei juga pernahmenggagas suatukonsep pendidikan berbasis nasionalisme
Indonesia.
Celakanya,karena “silau” dengan keberhasilan konsep
pendidikan berbudaya asingdankurangnya penghargaan pada konsep
pendidikan negeri sendiri, makapejabat yangmengurusi pendidikan di
Indonesiacenderung mengadopsi konsep pendidikan asing yang belum tentu
cocokdengan parasiswa di Indonesia.Tapi lebih celaka, tiap ganti
pejabat, ganti pula sistem pendidikansehinggamembingungkan baik siswa
maupun pengajar. Inilah yang terjadi bila polapendidikan diterapkan
secara top down.
Bila melihat sebuahpenelitian
dari Amerika yang pernah dikutip oleh Bapak Anand Krishnabahwa hanya 4%
dari peran otak kiri dalam pencapaiankeberhasilan manusia, maka pola
pendidikan di Indonesia pun harus jugamencakuppengasahan otak sebelah
kanan. Jadi kebijakan standar kelulusan seorangsiswahanya berdasarkan
Hasil Ujian Akhir Nasional (UAN) seperti yang terjadisaatini sudah
seharusnya direvisi.
Sayangnya,sistem pendidikan di
Indonesiasendiri susah untuk independen. Selalu saja ada campur tangan
parapolitisi. Akhirnyapendidikan di Indonesiaselalu tergantung pada
penguasa yang berkuasa. Tapi karena penguasanyabiasanyahanya
mementingkan kepentingan sendiri dan kelompok, maka
jadilahsistempendidikan di Indonesiayang hanya menfokuskan pada
intelektual dan materialisme.
Tapi darisegala keruwetan pendidikan di Indonesia,kita tidak boleh lantas berputus asa dan bersikap masa bodoh karenapembenahanpendidikan merupakan asal mula kebangkitan bangsa, seperti yang terjadipadaKebangkitan Nasional Indonesia 1908. Sebagai langkah pertama, marilahkitamendesak pemerintah untuk dengan segera merealisasikan komitmen kitauntukmenyediakan dana pendidikan sebesar 20% dari Anggaran PendapatanBelanja Negara(APBN) sesuai amanat konstitusi. (ajb)
Tapi darisegala keruwetan pendidikan di Indonesia,kita tidak boleh lantas berputus asa dan bersikap masa bodoh karenapembenahanpendidikan merupakan asal mula kebangkitan bangsa, seperti yang terjadipadaKebangkitan Nasional Indonesia 1908. Sebagai langkah pertama, marilahkitamendesak pemerintah untuk dengan segera merealisasikan komitmen kitauntukmenyediakan dana pendidikan sebesar 20% dari Anggaran PendapatanBelanja Negara(APBN) sesuai amanat konstitusi. (ajb)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar