PENDIDIKAN

Pendidikan sebagai investasi SDM
DUNIA dan AKHIRAT

Jumat, Oktober 18, 2013

Kecerdasan bisa Dikembangkan!

https://www.facebook.com/notes/ruky-dwinarputra/kecerdasan-bisa-dikembangkan/10151510470138297
28 Juni 2013 pukul 0:20

oleh Anindito Aditomo (Catatan) pada 23 Mei 2013 pukul 17:09

Bila diminta membayangkan sosok yang cerdas, siapa yang muncul di benak Anda? Banyak orang akan membayangkan ilmuwan terkenal seperti Albert Einstein atau B.J. Habibie, atau kenalan dan saudarayang punya prestasi cemerlang di sekolah. Gambaran ini tidak salah. Kecerdasan memang identik dengan kemampuan intelektual yang tercermin dalam prestasi dibidang ilmu pengetahuan.

Pertanyaannya,apakah kemampuan intelektual bisa berubah? Kita semua pasti pernah punya temanyang dianggap kurang cerdas, yang kerap kesulitan mengikuti pelajaran disekolah. Atau mungkin kita sendiri pernah dianggap sebagai orang dengankemampuan intelektual yang kurang. Dapatkah orang seperti ini menjadi lebihcerdas melalui usaha dan proses belajar? Bertambah cerdas di sini bukan hanyabertambah pengetahuan, melainkan benar-benar menjadi punya kemampuanintelektual yang lebih daripada sebelumnya.

Sebagian darikita mungkin ragu bahwa siswa yang tadinya terseok-seok mencerna pelajaran, di kemudianhari bisa menjadi “berotak encer” dan bersinar di sekolah. Bukankah kecerdasan itu potensi dasar yang terberi, yang ditentukan sejak lahir? Seseorang bisa saja mempelajari hal-hal baru, tapi kapasitas dasarnya untuk belajar itu sendiri tidak akan banyak berubah. Mungkin Anda merasa bahwa kecerdasan adalah semacam bakat untuk bidang akademik. Dan sebagaimana bakat-bakat bidang lain, kecerdasan adalah potensi yang bisa diolah, namun “volumenya” tidak bertambah. Seseorang dengan kecerdasan pas-pasan perlu usaha lebih keras untuk mencapaiprestasi akademik yang baik, dibandingkan seseorang yang memang dari "sononya" sudah cerdas!

Namun apakah asumsi-asumsi ini sejalan dengan hasil penelitian tentang kecerdasan? Untuk menjawabnya, pertama-tama kita perlu menilik dahulu apa yang dimaksud dengan kecerdasan. Dalam ilmu psikologi, istilah yang kerap dikaitkan dengan kecerdasan adalah “inteligensi”. Pada awal abad ke-20, pemerintah Perancis meminta seorang ahli psikologi bernama Alfred Binet membuat tes guna mengidentifikasi siswa yang kemungkinan besar akan mengalami kesulitan mengikuti pelajaran sekolah. Tes buatan Binet ini kemudian disebut sebagai tes inteligensi, dan hasilnya disebut sebagai skor IQ (intelligence quotient).

Setelah Binet, banyak ahli psikologi yang juga mengembangkan tes inteligensi. Pada umumnya, tes-tes inteligensi mengukur kemampuan berpikir secara analitik dengan angka (numerik), kata-kata (verbal), dan/atau visual (ruang dan gambar). Berpikir analitik merujuk pada proses mencari relasi, mengidentifikasi pola, dan menggolong-golongkan objek secara efisien (cepat) dan sistematis. Salah satu cara mengukur kemampuan berpikir analitik adalah memberi seseorang serangkaian bentuk, kemudian memintanya menebak bentuk apa yang secara logis menjadi kelanjutan dari rangkaian tersebut. Cara lain adalah dengan menanyakan kesamaan antara dua konsep, misalnya “pena” dan“pensil”.

Skor IQ memang memprediksi keberhasilan siswa di sekolah. Tampaknya skor IQ juga sulit untuk ditingkatkan secara signifikan. Selain itu, pengaruh faktor keturunan pada skor inteligensi cukup kuat. Kembali ke pertanyaan utama esai ini, apakah berarti kecerdasan kita tidak bisa diubah? Apakah keberhasilan seseorang di sekolah semata-mata masalah “nasib”? Untungnya, jawabannya tidaklah sesuram itu!

Pertama, skor IQ memang memprediksi prestasi sekolah (dan juga prestasi kerja di berbagai bidang), tapi daya prediksinya tidaklah sebesar yang kerap diasumsikan. Untuk prestasi di sekolah, keterampilan belajar seperti cara mencerna bacaan atau kuliah, cara menyiapkan ujian, serta kemampuan menyampaikan gagasan punya andil yang sama atau bahkan lebih besar daripada IQ. Demikian juga untuk prestasi kerja, faktor-faktor seperti seperti kemampuan interpersonal, kemahiran berkomunikasi, dan pengetahuan memiliki sumbangan yang lebih besar daripada IQ.

Kedua, skor IQ hanya mencerminkan bagian kecil dari kecerdasan, yakni aspek kecerdasan yang berguna untuk sekolah. Ahli-ahli kognitif seperti Robert Sternberg dan Keith Stanovich menyatakan bahwa aspek-aspek kecerdasan yang berguna dalam kehidupan justru tidak diukur oleh tes IQ. Stanovich menyebutkan dua keterampilan berpikir yang berguna untuk problem solving di banyak konteks, namun tidak diukur oleh IQ.

Yang pertama adalah kebiasaan mencermati dan mendefinisikan masalah secara menyeluruh dan seksama. Kebanyakan orang, termasuk mereka yang ber-IQ tinggi, kerap terjebak untuk memilih jalan singkat dan cepat untuk menyelesaikan persoalan. Padahal, cara cepat dan singkat itu seringkali tidak optimal. Kecenderungan ini tampak dalam cara orang menyelesaikan problem-problem sederhana seperti ini:

“Dina membeli sepatu dan kaus kaki.Ia membayar $110 untuk kedua hal itu. Harga sepatu $100 lebih mahal daripadakaus kaki. Berapa harga sepatu tersebut?”

Kalau Anda seperti saya dan banyak orang lain, maka jawaban yang terpikir pertama adalah angka $100. Tapi ini keliru. Cobalah pikirkan dengan lebih hati-hati. Poin saya adalah bahwa kekeliruan ini merupakan hasil dari kecenderungan alami manusia untuk tergesa-gesa dalam merumuskan masalah yang dihadapi.

Kedua, aspek kecerdasan yang tidak diukur oleh IQ adalah kemampuan untuk menangguhkan asumsi, preferensi, dan keyakinan personal ketika menghadapi masalah. Kebanyakan orang, termasuk yang ber-IQ sangat tinggi, sering bias dalam mengevaluasi pendapat/situasi dan karena itu kerap mengambil keputusan berdasarkan evaluasi tersebut. Ambil contoh berita yang akhir-akhir marak mengenai korupsi yang melibatkan petinggi sebuah partai politik cukup besar. Banyak simpatisan partai tersebut yang menilai bahwa Komisi PemberantasanKorupsi (KPK) "berlebihan" dalam menyidik yang terlibat, dan lunak pada partai lain yang juga tersandung kasus korupsi. Namun mereka yang bukan simpatisan dapat menilai bahwa KPK sudah bertindak dalam koridor hukum.

Kedua keterampilan berpikir di atas ini tidak berkorelasi (atau berkorelasi lemah) dengan inteligensi (IQ). Berita bagusnya, keduanya dapat dilatih dan ditingkatkan. Dengan demikian, kecerdasan dan prestasi sekolah bukanlah masalah nasib semata!

Referensi:
1. Stanovich, K. E. (2009,Nov/Dec).  The thinking that IQ tests miss. Scientific American Mind, 20(6), 34-39.
2. Sternberg, R. (1984). Beyond IQ: A Triarchic Theory of Intelligence. Cambridge: University of Cambridge Press.

  • Anda, Dhitta Puti Sarasvati dan 16 lainnya menyukai ini.
  • Dwi Nastiti Arumsari Oscar kalo daku suka Pak Tino Sidin. soale dari beberapa garis dan lengkung, kok bisa bikin gambar yg bagus... oh, ya, atau ibuku, yg selalu punya ide cerdas utk mengisi waktu luang--waktu luangku, terutama, pas masih anak2...
  • Alita Soeyadi Cerdas itu bgm seseorang menyelesaikan masalahnya dg kreatif kan Pak Anindito? Tentunya kreatif dlm koridor yg benar maksud sy.
  • Embha Majnun Nasib multipel intelegensi
  • Edward Theodorus harga sepatu 105 dolar.... hehehe.... thanks, nino. tulisan yg ringan, renyah, & bergizi.
  • Sri Marpinjun Sy merasa kurang cerdas, shg tak tahu harus komentar apa hehe...
    Tapi sy setuju dengan aliran konstruktivistik, bhw pengetahuan itu dibangun oleh masing2 pembelajar berdasar apa yg sudah mereka tahu. Jadi kalau di sekolah semua anak diberi pelajaran
    yg sama, anak yg sudah banyak pengalaman akan mengolahnya scr berbeda dg anak yg belum banyak pengalaman. Anak yg lebih dulu mempelajari topik dr pengalaman di luar kelas akan lebih siap dan analitis ketika menerima materi dr guru. Anak yg banyak buku, dapat dongeng/cerita di rumahnya akan lebih cerdas di sekolah.
    Namun, kesuksesan di sekolah itu bukan hanya faktor anak. Ada juga faktor guru. Pengalaman sy, kalau berhadapan dg guru galak/pilih kasih otak jadi beku dan mental belajar aktif melemah, dan tak peduli dengan nilai. Males banget, dapat D luweh hihi
  • Jonh Hendri Orang yang senantiasa berargumen selalu mengandalkan Akal atau kemampuan kognitifnya.... orang yang sabar selalu menanyakan segala sesuatunya pada hati nuraninya lalu jadilah dia seorang yang arif dan bijak. Dalam riset saya di suku terasing ketika saya ingin menguji apakah dalam persepsinya, mereka termasuk orang miskin atau tidak? apa jawaban mereka ...."kami tidak miskin" lalu kalau kita mengambil acuan atau kategori tentang kemiskinan mereka sudah pasti termasuk orang yang miskin. Karena ukurannya adalah konsumsi beras mereka, padahal mereka tidak setiap waktu makan beras, uang pun tidak menjadi alat penting bagi mereka.... bahkan sekolah bukan juga menjadi penting bagi mereka..... tapi apakah merka bisa kita bilang bodoh? padahal mereka bisa mengatasi kebutuhan mereka..... bukan kebutuhan semua orang yang pengen naik pesawat..... melihat2 negeri lain.... kita memandang mereka sebagai orang terbelakang karena kita selalu mengambil ukuran kita..... padahal kita juga menjual budaya mereka untuk tujuan wisata.... bukan untuk kepentingan mereka.... jadi ukuran yang berbeda akan menghasilkan hal yang berbeda. Nabi Muhammad tidak bisa membaca dan menulis tapi dia diakui sebagai tokoh no.1 yang berpengaruh didunia.... dia menyuruh seluruh umatnya untuk menuntut ilmu.... ilmu dalam artian yang luas.... kata orang Padang Alam yang terkembang jadi guru.... ini sungguh sesuatu menunjukkan kearifan..... yang kita tidak bisa kolerasikan tengan IQ dan teori kecerdasan seperti yang sering disebut2 ahli psikologi.
  • Yeremia Tommy Chou Jadi piro harga sepatune hahahaha? Sip iya Pak, kemampuan berpikir yg tdk IQ based jauh lebih banyak digunakan dlm fase kehidupan setelah pendidikan, sbgai contoh pamanku yang ga pernah sekolah bisa punya bisnis yg omzetnya 80 M setahun (merintis dari 0 dari menjajakan barang dagangan pake motor sendirian), sementara yg dlu juara-juara di kelas malah jadi karyawannya hehehehe, ugly truth: pemikiran dengan pola tersebut harus mulai di tingkatkan dan dilengkapi, krn tdk cukup sampai situ, seringkali hal-hal IQ based membuat org terjebak dalam pola umum perilaku, semakin pintar orgnya semakin susah utk mempercayai atau memikirkan hal-hal dengan cara berbeda, melihat hal dgn cara berbeda, sehingga ga sedikit mereka akhirnya miris, iri hati melihat dulu temannya yang mungkin tdk sepintar dia di sekolah tpi jadi bisnisman, sementara dia jdi manager. Saatnya pendidikan lebih melengkapi dengan cara berpikir yang banyak ke probles solved based, krn di kehidupan nyata soal ujiannya tdk dalam kondisi yang terkontrol, banyak elemen yang tdk kita prediksikan sebelumnya, jdi seharusnya orang itu memiliki kebiasaan utk terus mengasah kecerdasaan, think different (bukan pesan sponsor) hahahahahah
  • Arie Rahayu Wah, kalau debat soal definisi tuh susah lho Mas Nino. Kalau orang terlanjur menganggap cerdas itu bawaan ya susah banget mendebatnya. Saranku sih mungkin pembahasannya dibawa ke konteks berbeda.
    PS: aku nggak terlalu percaya kecerdasan juga sih. Menurutku itu seperti kecantikan, nggak harus dimiliki.
  • Arie Rahayu Menurutku lagi, yang bikin kecerdasan itu keliatan sangat penting adalah sekolahan. Di sekolah cerdas = berhasil. Di kehidupan nyata kan nggak gitu juga. Nah, mestinya sekolah itu yang berubah jadi lebih mirip kehidupan nyata. Susah sih tapi kalau yang di sekolah nggak cerdas-cerdas amat.
  • Anindito Aditomo "yang bikin kecerdasan itu keliatan sangat penting adalah sekolahan" --> tapi kenyataannya, sukses di sekolah itu penting, terlepas dari sekolah itu pantas untuk menjadi institusi sosial yang penting.
  • Anindito Aditomo Tommy Chou: kalau buatmu, sepatunya gratis deh, hehe.
  • Anindito Aditomo "di kehidupan nyata soal ujiannya tdk dalam kondisi yang terkontrol, banyak elemen yang tdk kita prediksikan sebelumnya" ==> di sekolah ujian pilihan ganda justru menjadi raja.
  • Anindito Aditomo pak Jonh Hendri: kearifan atau wisdom itu pantas menjadi topik terpisah. bukan bagian dari kecerdasan. orang cerdas - dalam definisi yang sudah diperluas pun - bisa saja tidak arif.
  • Anindito Aditomo bu Sri Marpinjun: kelanjutan dari artikel ini akan bicara tentang pentingnya melihat kecerdasan sebagai kemampuan yang bisa dikembangkan. siswa yang merasa bahwa kecerdasan itu given (gak bisa berubah) akan rentan menyerah ketika menghadapi kegagalan di sekolah, karena ia merasa tak banyak yang bisa ia lakukan. trims sudah mampir di lapak
  • Anindito Aditomo Edward Theodorus: yak betul $105. edo memang cerdas dan tangkas
  • Anindito Aditomo Edo, thanks for the appreciation. saya memang sedang berusaha membuat tulisan-tulisan ringan namun berbasis riset, sehingga bisa bergizi, terutama untuk guru/pendidik.
  • Anindito Aditomo Embha Majnun Nasib: pak ustad trims sudah mampir di lapak. gagasan multiple intelligence juga meluaskan arti kecerdasan. yang saya tulis di atas ini agak berbeda, karena lebih menyoroti metakognisi (kemampuan memonitor proses berpikir diri sendiri, sehingga bisa lebih cermat, lebih menyadari asumsi2 yang kita miliki, mau menangguhkan keyakinan personal ketika menimbang sesuatu, dll.)
  • Anindito Aditomo Alita Soeyadi: iya bu, itu gagasan intinya. kecerdasan bukan hanya kemampuan analitik, tapi juga pemecahan masalah secara kreatif.
  • Anindito Aditomo Dwi Nastiti Arumsari Oscar: mbak sari, pak tino sidin itu kalau nggambar spontan atau sudah diskenario ya? dan ya, ibu memang harus kreatif dan cerdas!
  • Arie Rahayu Senada dengan pendapatmu ini Mas Nino, artikel ini menunjukkan bahwa anak justru jangan dipuji cerdas. Sebab terlanjur konsep kita adalah cerdas itu bawaan. Justru pujilah anak-anak karena usahanya, mereka malah akan (secara tidak sadar) bersemangat mengembangkan kecerdasannya. Ironi ya?

    http://blogs.hbr.org/cs/2011/11/the_trouble_with_bright_kids.html

    blogs.hbr.org
    It's not easy to live up to your fullest potential. There are so many obstacles ...Lihat Selengkapnya
  • Arie Rahayu Kenapa sukses di sekolah itu (harus) penting? Kenapa gak boleh gak penting? Sekolah (dengan versinya yang sekarang) itu konsep yang dibikin di abad 18. Sudah lama banget dan nyaris nggak mengalami perkembangan, kecuali terkait advancement bahan ajarnya.
  • Dwi Nastiti Arumsari Oscar wah. kalo sdh dibikin skenario, ya soal lain. tapi kupernah punya kawan spt itu--secara ilmiah pintar (Fisika, Kimia, bahkan soal Matematika pernah diselesaikannya di depan kelas sambil 'fly) dan secara artistik dia sangat berbakat--di kelas dia paling...Lihat Selengkapnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar